LIVE IS AN ADVENTURE

I think by traveling you can better appreciate yourself and the different cultures of the world... Enjoy life all around the world. To share with many people with different way of living. To love. To dance with the birds and sing with the wind....

Travelling brings color to my life. I'm travelling for the joy...
"...there is a difference between knowing the path and walking the path" - Morpheus

I am not good at writing but I want to share the adventure in my journey, but I have a lot of photo trips. Let the pictures are going to tell you about this trip ;)

Not only for the destinations, but it's about the journeys...
when you are traveling the time should be yours.

Some in my blog is using Indonesian, If you do not understand Indonesian you can use "Google Translate" at the top left of this blog. I hope this blog can be useful ...


DILARANG MENGAMBIL atau COPY PHOTO-PHOTO DALAM BLOG INI TANPA IJIN!

Jumat, 22 Mei 2015

Wae Rebo, desa diatas Awan dari Flores





Para backpacker ataupun traveller pasti sudah tak asing mendengar destinasi yang satu ini. Yup. Wae Rebo sebuah kampung kecil yang mempunyai 7 rumah adat berbentuk kerucut yang berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat, Desa Satar Lenda - di pulau Flores diatas pegunungan berketinggian 1.200 mdpl.

Di sini, satu desa dengan desa yang lainnya jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit berkerudung kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa di satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Rasanya sudah tidak sabar lagi ingin berkunjung ke desa ini!


Tata tertib mengunjungi kampung Wae Rebo


Petualangan kami lakukan pada tanggal 4-10 Mei 2015 dan dimulai dari Jakarta menuju Labuan Bajo, tepatnya kami dijemput dari Bandara Komodo, Flores sekitar jam 10 pagi langsung melanjutkan perjalanan menuju desa Denge. Rute yang kami tempuh waktu itu adalah Labuan Bajo - Lembor - Pela - Todo - Narang - Dintor - Denge - Wae Rebo. Dibutuhkan waktu kurang lebih 6 jam dari Labuan Bajo hingga ke Denge dengan menyewa mobil, itu kalau tidak mampir-mampir yaa! 😉

Di perjalanan, kami menikmati pemandangan melintasi kampung-kampung, hutan pohon jati, sawah-sawah luas, jalanan berkelok, jalanan menanjak dan menurun, dan anak-anak sekolah yang jalan kaki di pinggir jalan yang sekolahnya sejauh saya berkendara tidak tahu ada di mana... saking jauhnya. Jalanannya beraspal bagus, lebih bagus dibanding jalan di Bekasi (huehehe). Tapi jalur bagus ini hanya sampai di pertigaan sebelum Ruteng (kira-kira 3 jam perjalanan dari Labuan Bajo). Selanjutnya 3 jam berikutnya jalanan aspal berlubang, start dari sini masuk area perkampungan.





Perjalanan yang berkelok-kelok sehingga penumpang tak henti bergoyang.... dan akhirnya kami sampailah di sebuah desa pesisir bernama Dintor yaitu desa nelayan. Hari sudah mulai gelap, penjaja ikan menawarkan dipinggir jalan dengan diterangi lampu senter, ikannya segar dan tentu tidak semahal harga ikan di Jakarta. Kami mampir sebentar untuk membeli ikan laut untuk menambah lauk makan malam kami di Denge. Dengan memesan 20 ekor ikan dibakar untuk makan malam dan 20 ekor ikan direbus untuk sarapan pagi. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju tanjakan ke pedalaman melewati pematang sawah dan jalan setapak sebelum sampai di Denge.


anak-anak Wae Rebo


Desa Denge merupakan desa terakhir sebelum Wae Rebo. Kami menginap semalam di penginapan Bapak Blasius dengan tarif Rp 200.000/malam dengan disediakan makan malam dan sarapan pagi dengan menu sederhana, beruntung tadi kami sempat membeli ikan di desa Dintor. Setelah kamar dibagikan kami langsung beres-beres. Kamar kami berada dilantai 2 dengan toilet bersama di lantai bawah. Setelah itu kami makan malam dan sebelum tidur ada pengarahan dari pak Blasius untuk treking besok pagi dan ritual penyambutan tamu yang disebut "upacara Waelu" setibanya kami sampai di desa Wae Rebo nanti. Kami juga disediakan guide/porter yang akan menemani kami, namanya Robert seorang remaja yang sangat ramah. Biaya guide sudah ditetapkan yaitu sebesar Rp 200.000.  Tidak lama kami langsung memasuki kamar untuk beristirahat karena besok dimulainya trekking.




Pagi harinya setelah sarapan kami memulai petualangan, dari Denge kami diantar mobil hingga melewati jembatan yang melintasi sungai Wae Lomba, lumayan menghemat tenaga... Dari sini kami memulai dengan berjalan kaki sekitar 3 jam lamanya (tergantung pada kondisi fisik yaa...) Perjalanan panjang dimulai! Semangat masih menggebu, setelah mengatur kerja paru-paru yang sudah mulai ngos-ngosan sambil mengatur langkah kaki setapak akhirnya tiba di Poco Roko (pos 2), kami poto-poto sebentar sebagai obat lelah.


Pemandangan dari Poco Roko (Pos Dua)



Melintasi jembatan bambu yang kecil


O iya, hal pertama yang perlu diperhatikan ketika berkunjung ke Wae Rebo adalah waktu. Topografi Flores berbukit-bukit dengan jalan-jalan yang berbelok-belok melintasi hutan lebat sepanjang jalan sempit mendaki dan menurun lalu mendaki lagi, sebaiknya hindari dimusim hujan selain kabut semakin tebal juga jalanan pun akan licin. Melewati pinggir-pinggir bukit dan hutan. Terkadang menanjak terkadang turun. Di beberapa tempat kami melewati sungai dan jembatan. Keanekaragaman hayati yang menakjubkan dengan vegetasi menarik ada anggrek, palem dan pakis yang bermacam jenis, satu lagi yang sangat mengesankan yaitu nyanyian burung-burung mengiringi langkah kaki kami dan menjadi penyemangat dalam perjalanan. 




Lanjut perjalanan melintasi hutan lebat dan nyanyian burung-burung semakin gencar menyemangati kami dalam kelelahan dan akhirnya sampai di Ponto Nao pos terakhir, Robert memukul kentongan yang berada di pos tersebut, menandakan ada tamu yang berkunjung. Dan samar-samar terdengar kentongan jawaban dari Wae Rebo. Terlihat pucuk-pucuk rumah berwarna abu-abu gelap, sebuah dusun yang mengepul asap dari kerucut-kerucut aneh berkumpul di sebuah lapang hijau itu.




Tiba digerbang memasuki desa tidak boleh mengambil gambar atau melakukan apapun sebelum menghadap kepala adat disana. Kami diantar Robert untuk ke rumah kepala adat yang disebut rumah Gendang untuk melalui upacara adat Waelu. Intinya upacara ini semacam penyambutan bagi pengunjung dimana kepala adat akan menyampaikan sambutan dan mendoakan pengunjung agar selamat, aman dan tidak ada gangguan selama berkunjung dan kami sudah diakui sebagai warga Wae Rebo...aseeeek! Terlepas kejadian atau gangguan ada atau tidak ada, kaitannya dengan Upacara Waelu, namun tentunya ada baiknya kita menghormati tradisi masyarakat dimana kita berkunjung.


Rumah Gendang, dimana ini sebagai rumah tetua adat Wae Rebo
Acara penyambutan tamu oleh Tua Adat di Rumah Gendang
ini suasana tempat tidur para tamu Wae Rebo, ada selimut tebal juga loh...
Masuk ke dalam rumah, harus lepas alas kaki yaa...
begini ruang besar rumah tamu, sekalian tempat tidur bersama


Setelah upacara Waelu selesai, kami diantar ke rumah adat khusus tempat menginap bagi para pengunjung. Kami dikumpulkan semua disitu baik turis asing maupun turis lokal untuk tidur bersama dalam satu ruangan, bercengkrama dan saat makan pun bersama.... layaknya keluarga besar. Late lunch dengan menu yang alakadarnya. Yang paling saya ingat adalah: sayurnya bening labu siam dicampur daun kelor iya... daun kelor! hehehe walau rasanya yang sedikit hambar tapi segar dimulut, ayam dimasak kuah ada juga menu telor dadar dan sambalnya pedas! Setelah itu disuguhkan kopi khas Wae Rebo yang menurutku kopi terenak di Indonesia loh! hihihi. 








Rumah besar itu tanpa sekat. Kami tidur melingkari rumah itu dengan beralaskan kasur tipis dan bantal tikar serta selimut tebal. Dan saya membawa sleeping bag untuk menemani tidur...hehehe. Tapi jangan bayangkan saat tidur rame-rame itu sudah pasti suara ngorok saut-sautan mesti dinikmati juga huahaha. Listrik menyala dari sore hingga pagi, di saat tidur lampu ruangan menyala jadi aman buat yang tidak bisa tidur gelap. Rumah adat khusus wisatawan pun nyaman... anggap saja menginap di penginapan alam.




suasana upacara adat dalam penyambutan tamu dengan memotong ayam




Saat ayam belum berkorban, poto bareng dulu dengan eMak 😁


Kami kagum dengan keindahan kampung yang rumahnya seperti payung krucut berbahan daun lontar atau rumbia yang disebut "Mbaru Niang" adalah rumah berbentuk kerucut dengan arsitektur yang sangat unik yang terdiri dari 5 tingkat, semua ditutupi atap dan ada beberapa jendela kecil yang menghiasi bangunan ini. Di tingkat pertama disebut lutur atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya dan ada perapian yang terletak di tengah rumah. Di tingkat kedua dinamai lobo atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur.  Atap kerucut dan besar, terbuat dari ijuk yang didukung oleh tiang kayu pada pusat bangunan. 





Rumah ini akan semakin kuat dan terhindar dari serangan rayap jika terkena asap. Maka dari itu dapur di letakkan di tengah-tengah ruangan, agar asap dari pembakaran saat memasak bisa menyebar ke seluruh ruangan. Menariknya lagi, tidak ada paku, besi dan beton pada bangunan ini. Lantas bagaimana rumah itu berdiri? Di tanam, di ikat dan di pasak. Ya, tiang-tiang utama di tanam dahulu ke tanah, untuk kerangka atap dari bambu di ikat dengan tali rotan, kemudian penggabungannya menggunakan pasak. Keren kan? Sampai-sampai kampung ini sering di kunjungi oleh arsitek dari penjuru Indonesia dan bahkan luar negeri untuk mempelajari bagaimana konsep Mbaru Niang itu berdiri. Nah, ini sedikit ulasan tentang rumah Mbaru Niang di Kampung Adat Wae Rebo.




Rumah Gendang, tempat tinggal para tua-tua adat Wae Rebo


Sedangkan Rumah Gendang yang berbeda dalam ukuran dari bangunan lain yang merupakan tempat di mana gendang pusaka suci dan gong disimpan yang digantung di tiang utamanya yang berada diposisi paling tengah. Rumah gendang juga menjadi tempat upacara dan ritual diadakan. Bentuk bangunanannya komunal dengan mengumpulkan delapan keluarga yang berasal dari satu nenek moyang di bawah satu atap yang besar. Di Wae Rebo, tidak seperti di dusun tradisional lain yang terkadang memiliki berbagai klan. Di sini hanya terdapat satu klan atau 1 marga saja. Strukturnya melambangkan kesatuan klan, dengan gendang suci dianggap penengah klan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang.

Di halaman tengah desa terdapat panggung batu yang dikisahkan: dahulu kala ada seorang penunggu hutan yang gagah menawan, mampu mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kaki penunggu hutan ini memiliki jari berjumlah enam. Rambutnya dikisahkan sangat panjang dan parasnya yang rupawan. Setelah panggung ini selesai, tarian caci digelar dan juga tabuhan gendang dilaksanakan (mbata) diatas panggung batu tersebut. Dan sampai saat ini panggung batu tersebut digunakan sebagai tempat acara ritual adat dilaksanakan.




Nene Maria dan Mama Nina yang ramah
Suasana didalam rumah Mama Nina

Para mama lagi gongseng kopi






Kabut sudah mulai turun dan udara pun semakin sejuk. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan, terbayar sudah dengan indahnya suasana alam dan keramahan masyarakatnya dimana budaya dan kearifan lokal masih sangat terjaga keasliannya.

Sambutan hangat warga setempat adalah sebuah keniscayaan. Ubi, talas, dan pisang goreng disajikan termasuk masakan daging ayam sebagai menu pembuka malam itu. Menginap di sana seperti sebuah mimpi berhari-hari. Ada kesan khusus dan tak akan tergantikan oleh perjalanan apapun, karena memang hanya satu kali pengalaman ini terjadi di Wae Rebo. Di sini semua berawal, dan akan terus berlanjut sebagai tanah tumpah darah warga Wae Rebo yang disebutkan dalam bahasa daerah sebagai 'neka hemong kuni agu kalo'.



menumbuk kopi 😊


Kami bisa merasakan dan melihat kehidupan sehari-hari  masyarakat setempat. Desa ini menawarkan pengunjung kesempatan unik untuk melihat kehidupan otentik Manggarai dan mengalami kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki pantangan untuk tidak makan satu binatang, yaitu musang. Dari penuturan tetua, leluhur mereka datang ke Wae Rebo dengan bertemankan seekor musang sehingga dipercayai bahwa musang adalah bagian dari leluhur mereka.





bangun tidur langsung pegang kamera 😊


Besok paginya setelah sarapan pagi kami bersiap-siap untuk kembali ke Labuan Bajo. Petualangan Wae Rebo sudah selesai dan kami siap-siap untuk trekking kembali. Perjalanan dari desa Wae Rebo menuju ke desa Denge merupakan perjalanan pulang yang lebih mudah karena jalanan cenderung menurun.




Sore hari kabut pun turun, dan angin berhembus dingin menyentuh kulit

Pemandangan dari balik jendela Niang Mbaru


Wae Rebo telah didukung untuk menjadi besar daya tarik wisata budaya di Flores Barat. Bersama dengan tim arsitek yang berbasis di Jakarta dan pemerintah Indonesia, masyarakat setempat telah dilakukan renovasi empat niang mbaru mereka - dan juga 'rumah gendang' semua dibangun dengan cara tradisional. 

Desa ini pernah mendapatkan penghargaan dari UNESCO dalam kaitannya dengan konservasi warisan budaya. Pada tanggal 27 Agustus 2012 lalu meraih Award of Excellence, anugerah tertinggi dalam UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation 2012 di Bangkok.

Wae Rebo adalah susunan rumah dan alam yang fotogenik. Dimana lagi di dunia ini yang mempunyai rumah seperti di Wae Rebo? Dan terakhir, karena lokasi Wae Rebo yang berada di flores. Jarak yang jauh dari Jakarta dan 7 jam perjalanan cukuplah membuat Wae Rebo dicap sebagai a-must-list-to-go dalam daftar wisata tiap traveller Indonesia bahkan dunia. Akankah saya balik lagi? Tentunya! walaupun cukup mahal, Wae Rebo cukup membuat saya kangen untuk balik lagi ke Flores. Jadi kapan kita ke sana bareng? Hehee.. Wae Rebo, luar biasa juga dengan keramahan dan kehangatan masyarakatnya. Terima kasih Wae Rebo!






TRANSPORTASI

Untuk transportasi umum di Flores dan ke Waerebo khususnya boleh dikatakan masih minim. Berdasarkan informasi yang kami peroleh saat berkunjung kesana, angkutan umum langsung dari Labuan Bajo ke Denge belum ada. Jika anda berangkat dari Labuan Bajo menuju Denge, maka anda harus melewati Ruteng terlebih dahulu. Artinya akan sedikit berputar. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat yang kami peroleh saat berkunjung kesana, dari Ruteng ke Denge jadwal angkutan umumnya adalah jam 11.00. Dari Ruteng ke Denge bisa memakan waktu kurang lebih 4-5 jam. Sedangkan angkutan umum dari Denge ke Ruteng berangkat jam 04.00 dini hari. Mohon dicek kembali kalau anda hendak kesana karena bisa saja jadwal dan rutenya berubah. Bagi anda yang memiliki keterbatasan waktu tentunya pilihan angkutan umum mungkin kurang efektif.

Salah satu solusi dari hal di atas adalah menyewa mobil. Kekurangannya kalau menyewa mobil tentunya diperlukan extra budget. Tapi jika anda pergi beramai-ramai dengan teman, katakanlah misalnya berempat hingga berenam, maka mungkin opsi menyewa mobil lebih efektif. Dengan pergi beramai-ramai biaya sewa mobil dapat dibagi sehingga biaya dapat ditekan. Anda dapat lebih menghemat waktu dan tentunya lebih leluasa.






PENGINAPAN

Mencari penginapan di sepanjang rute dari Labuan Bajo hingga Denge tidaklah mudah. Oleh karena itu, jadwal keberangkatan anda menuju Wae Rebo akan sangat berpengaruh terhadap penentuan penginapan. Penginapan diantaranya dapat ditemukan di Desa Dintor dan Desa Denge. Jika memungkinkan, usahakan anda sudah sampai di Desa Denge sebelum matahari tenggelam. Desa Denge adalah desa terakhir sebelum ke Wae Rebo. Jalan menuju Denge masih dapat dilalui mobil. Nah di Desa Denge anda dapat menginap di rumah Pak Blasius Monta (0812339350775). Kami waktu itu menginap semalam di rumah beliau sebelum menuju Desa Wae Rebo. Sebaiknya anda menelpon atau SMS terlebih dahulu kepada beliau sebelum kesana. Terkadang beliau sulit ditelpon karena sinyal yang kurang bagus di Denge. Kalau anda tidak berhasil menelpon, SMS saja. Di rumah Pak Blasius terdapat banyak kamar (tidak sempat hitung). Waktu itu kami dikenai tarif Rp 200 ribu per orang. Jika anda menginap di Dintor, anda harus menuju Denge tentunya. Dari Dintor menuju Denge anda dapat menyewa ojek. Jaraknya kurang lebih 20-30 menit dari Dintor ke Denge.

Jika anda bisa sampai katakanlah siang di Denge, mungkin anda dapat langsung melanjutkan trekking menuju Wae Rebo tanpa menginap di Denge. Tentunya ini sangat tergantung dari berbagai faktor seperti stamina anda. Di desa Wae Rebo sendiri kita juga bisa menginap. Jika menginap disini dikenai tarif Rp 325ribu per-orang per-malam. Kita akan menginap di salah satu rumah yang disediakan khusus untuk pengunjung. Didekat rumah ini juga sudah tersedia dapur dan 3 Toilet yang lumayan bersih, tapi kami memilih mandi di pancuran biar leluasa mandinya dan menghindari antrian dan airnya seger langsung dari gunung.





*Dapatkan Cerita

Mungkin tidak sedikit pengunjung yang datang ke Wae Rebo yang hanya datang untuk berfoto-foto. Datang, foto dan pergi. Tidak ada yang salah memang karena itu hak setiap pribadi. Namun disarankan sebaiknya jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang kehidupan masyarakat di Desa Wae Rebo termasuk filosofi dan pemikiran mereka. Datangilah warga disana yang menurut anda bisa menjelaskan dengan asyik dan gamblang tentang Wae Rebo. Informasi seperti ini tentunya merupakan pelajaran dan ilmu yang berharga bagi kita. Banyak ilmu yang bisa kita peroleh dengan berkunjung ke desa-desa adat.





*Mungkin Mahal, Tapi Lupakan Itu Semua.

Sebelum berkunjung ke Wae Rebo, saya sempat membaca berbagai artikel tentang Wae Rebo. Salah satunya adalah tentang mahalnya biaya untuk berkunjung. Setiap orang yang menginap di Wae Rebo dikenakan biaya Rp 325 ribu perorang. Pikiran-pikiran komersialisasi desa adat sempat menggelayut di benak saya. Tapi setelah datang sendiri ke Wae Rebo, semua pikiran itupun lenyap. Apalagi setelah obrolan malam dengan Pak Yosef yang bercerita banyak tentang kehidupan di Wae Rebo. Pikiran seperti itu mungkin juga bisa hinggap di benak anda. Ketika kita datang ke Wae Rebo ada sesuatu yang kita dapatkan disana, mulai dari kesenangan berkunjung, berfoto-foto, menginap, makanan yang disajikan oleh warga setempat, suasana alami desa, hingga informasi-informasi dan ilmu berharga. Anggap saja uang yang anda keluarkan adalah imbal balik dari apa yang telah anda dapatkan dengan berkunjung ke Wae Rebo. Selain itu anggap saja uang tersebut sebagai bagian untuk pembangunan dan pengembangan masyarakat disana. So, lupakan uang yang anda keluarkan untuk menginap disana. Intinya: make yourself fun there, and forget about the money.

Ambil uang tunai di Labuhan Bajo

Setelah meninggalkan Labuan Bajo sudah tidak ada lagi ATM, jadi sebaiknya ambil uang tunai yang cukup untuk membayar sewa mobil, penginapan, sewa pemandu/porter, serta untuk membeli oleh-oleh khas Wae Rebo seperti kopi atau kain tenun.

* Bawa jaket dan kaos kaki untuk tidur
 
Desa Wae Rebo letaknya 1.200 mdpl, tentu saja membuat udaranya cukup dingin, Walaupun tidak tidur di luar, tetapi tidur di dalam Mbaru Niang, dengan alas tidur dan selimut, tidak akan mumpuni menghalau dinginnya udara malam. So, jangan lupa bawa jaket hangat dan kaos kaki untuk malam hari.

Bawalah buku bacaan untuk anak-anak Wae Rebo
 
Di desa ini memang ada himbauan untuk tidak memberikan apapun ke anak-anak, baik permen, uang, makanan kecil, atau buku secara langsung. Tetapi kita juga bisa menyumbangkan buku-buku bacaan untuk dibawa ke perpustakaan di Wae Rebo bahkan buku tulis pun mereka minati. Karena anak-anak Wae Rebo pada umumnya baru akan meninggalkan kampung saat usia sekolah dasar untuk bersekolah di desa terdekat seperti desa Denge atau Kombo. Maka banyak anak-anak yang kemampuan bahasa Indonesianya sangat terbatas. Dengan bantuan buku-buku bacaan yang kita bawa, dapat membantu mereka untuk belajar membaca terlebih dalam bahasa Indonesia lebih dini.

*Sinyal Handphone

Sinyal HP di Flores umumnya dan di desa Dintor, Denge dan Wae Rebo serta desa-desa sekitarnya memang tidak sebagus di kota-kota besar di Pulau Jawa. Berdasarkan pengalaman kami kesana kami menganjurkan anda menggunakan simcard dari provider Telkomsel (mestinya dapet royalty nih!) hihiii 😁Di desa Denge sendiri sinyal memang sulit namun kadang-kadang bisa kita dapatkan. Dalam perjalanan menuju Wae Rebo jika anda memang ada hal-hal mendesak, maka anda dapat mencoba mencari sinyal di Poco Roko (Pos 2 menuju Wae Rebo). Di Poco Roko terkadang kita bisa mendapatkan sinyal dan lebihnya lagi dari Poco Roko ini kita dapat menyaksikan pemandangan laut di kejauhan. O iya, di desa Wae Rebo, akses listrik masih sangat terbatas. Listik hanya menyala pada pukul 6 sore hingga 6 pagi, jadi bawalah baterai cadangan untuk kamera atau ponsel.


Cerita petualangan kami yang lain di Labuan Bajo, Flores:






Keluarga Cemara, saatnya memulai petualangan ke Wae Rebo
Sebelum memulai pendakian, Poto dulu dong 😊
Sampai jumpa lagi Wae Rebo!!







 

3 komentar:

  1. AWESOME!!!! Ceritanya lengkap banget mbak,keren banget. Semoga bulan depan,gak ada halangan saya sampai ke sana 🙏🙏🙏

    BalasHapus
  2. saya doakan smoga perjalanan mba Gie SR lancarjayaaaa yaah!! ;-) have a fun!

    BalasHapus
  3. Aamiin mbak Renny,terima kasih doa dan infonya 😊😊😊

    BalasHapus

Musim Semi Rasa Winter di Dolomites

Dari keindahan alam, laut mediterania hingga bangunan-bangunan kuno peninggalan sejarah, Italia memang merupakan salah satu negara te...